Dari Kios Kecil, Bisnis Handphone Pria Ini Triliunan Rupiah
03 December 2012
Add Comment
Budiarto Halim, chief executive officer PT Erajaya Swasembada Tbk terpilih sebagai Entrepreneur of The Year versi Ernst & Young. Ia berhasil unggul dalam penilaian para juri dari enam finalis lainnya yang berasal dari berbagai bidang industri seperti perkebunan, permesinan, makanan hingga kantong plastik.
Tampaknya, kisah Budi --sapaan Budiarto Halim-- dalam membangun bisnisnya dari nol hingga saat ini sukses menjadi perusahaan terbuka, dengan pertumbuhan harga saham yang amat baik, menarik perhatian para dewan juri yang merupakan pebisnis-pebisnis sukses di Indonesia.
Jika melihat keadaan Erajaya Swasembada saat ini, mungkin tidak terbayang bisnis bernilai triliunan rupiah ini hanya berasal dari sebuah kios handphone kecil di Jalan Rawa Bahagia, sebuah jalan kecil di daerah Grogol, Jakarta Barat, yang mungkin akan selalu diingat Budi.
Di jalan kecil itu, Budi memulai bisnisnya dengan menggunakan modalnya sendiri. Tepatnya, berapa modalnya saat itu, tidak diingatnya, tapi ia memastikan jumlahnya amat kecil.
"Saya sudah lupa berapa jumlah pastinya, karena sudah lama sekali, tetapi itu amat kecil," ujar Budi ketika berbincang setelah menerima penghargaan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Budi memulai bisnisnya dengan melihat peluang yang amat besar di pasar telepon seluler ke depannya. Akhirnya, pada 1996, dia bersama sepupunya membentuk cikal bakal Erajaya Swasembada.
Bisa membawa perusahaan sebesar saat ini, menurut dia, karena melihat perkembangan teknologi ke depan saat itu yang diprediksi semakin pesat, ditambah meningkatnya permintaan terhadap handphone. "Demand-nya dulu setiap tahun terus meningkat," ujarnya.
Sebagai perusahaan yang baru merintis, dia menjelaskan, tentu sulit untuk mendapatkan produk dengan nama yang besar ketika itu seperti Samsung, Motorola, dan Sony Ericsson. Akhirnya, Budi melihat Nokia yang masih belum dikenal oleh orang kala itu.
"Kelas kami sama waktu itu, sama-sama kecil. Jadinya bisa menjalin kesepakatan," jelasnya.
Seiring tahun berganti, pamor Nokia terus meningkat sampai merajai pasar handphone Indonesia, bahkan dunia.
Kesuksesan Nokia ini tentu berimbang pada usaha Budi. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, ia membentuk jaringan yang lebih besar untuk penjualan handphone-nya. Ia pun menganggap saat itu posisinya berada di kapal yang tepat pada saat yang tepat.
Ia pun tak menyangkal ada sebagian keberuntungan yang menimpanya. Namun, jika sepenuhnya dikatakan beruntung, dirinya menolak, karena keberuntungan tanpa usaha dan tekad yang keras akan sia-sia.
Budi mengenang, dalam perjalanannya, tentu perseroan memiliki masa-masa sulit dan banyak kendala yang dihadapi. Namun, ada dua yang paling besar yang terus dirinya ingat.
Pertama, ketika terjadi krisis pada 1998. Budi menyadari, kalau itu bukan hanya dirinya, namun seluruh masyarakat Indonesia mengalami masa sulit itu.
Kedua, pada 2009. Tahun itu, amat diingatnya karena itulah awal mula smartphone BlackBerry mulai booming di Indonesia.
Setahun kemudian, efek populernya amat dirasakan perusahaan yang kala itu hanya menjual satu merek, yaitu Nokia. "Saat itu, penjualan Nokia amat turun dan perusahaan mengalami gejolak hebat," kenangnya.
Satu hal yang membuatnya bertahan, menurut Budi, adalah kepercayaan yang terus diberikan para pegawainya kepada perusahaan. Meski perusahaan sedang menghadapi krisis besar, karyawan serta manajemen tetap mendukung dan setia kepada dirinya.
Hal ini yang membuatnya terus berusaha mempertahankan perusahaan. "Mereka percaya pada perusahaan dan kami juga harus membuat mereka bangga, karena itu kami juga maju terus " ungkapnya.
Pada Jumat lalu, saham Erajaya Swasembada sudah mencapai Rp2.875. Padahal, ketika awal dilepas, harga saham hanya Rp1.000.
Perseroan pun saat ini sudah memiliki lebih dari 390 outlet resmi, termasuk di dalamnya iBox yang merupakan authorized dealer dari produk-produk Apple dengan jumlah karyawan lebih dari empat ribu orang.
Dari 90 sentra distribusi yang dipunyai perseroan, kini telah memasok kebutuhan lebih dari 19 ribu reseller di seluruh Indonesia. Sementara itu, pendapatan perusahaan tahun ini dari penjualan diperkirakan menembus Rp12, 8 triliun
Sumber
Tampaknya, kisah Budi --sapaan Budiarto Halim-- dalam membangun bisnisnya dari nol hingga saat ini sukses menjadi perusahaan terbuka, dengan pertumbuhan harga saham yang amat baik, menarik perhatian para dewan juri yang merupakan pebisnis-pebisnis sukses di Indonesia.
Jika melihat keadaan Erajaya Swasembada saat ini, mungkin tidak terbayang bisnis bernilai triliunan rupiah ini hanya berasal dari sebuah kios handphone kecil di Jalan Rawa Bahagia, sebuah jalan kecil di daerah Grogol, Jakarta Barat, yang mungkin akan selalu diingat Budi.
Di jalan kecil itu, Budi memulai bisnisnya dengan menggunakan modalnya sendiri. Tepatnya, berapa modalnya saat itu, tidak diingatnya, tapi ia memastikan jumlahnya amat kecil.
"Saya sudah lupa berapa jumlah pastinya, karena sudah lama sekali, tetapi itu amat kecil," ujar Budi ketika berbincang setelah menerima penghargaan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Budi memulai bisnisnya dengan melihat peluang yang amat besar di pasar telepon seluler ke depannya. Akhirnya, pada 1996, dia bersama sepupunya membentuk cikal bakal Erajaya Swasembada.
Bisa membawa perusahaan sebesar saat ini, menurut dia, karena melihat perkembangan teknologi ke depan saat itu yang diprediksi semakin pesat, ditambah meningkatnya permintaan terhadap handphone. "Demand-nya dulu setiap tahun terus meningkat," ujarnya.
Sebagai perusahaan yang baru merintis, dia menjelaskan, tentu sulit untuk mendapatkan produk dengan nama yang besar ketika itu seperti Samsung, Motorola, dan Sony Ericsson. Akhirnya, Budi melihat Nokia yang masih belum dikenal oleh orang kala itu.
"Kelas kami sama waktu itu, sama-sama kecil. Jadinya bisa menjalin kesepakatan," jelasnya.
Seiring tahun berganti, pamor Nokia terus meningkat sampai merajai pasar handphone Indonesia, bahkan dunia.
Kesuksesan Nokia ini tentu berimbang pada usaha Budi. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, ia membentuk jaringan yang lebih besar untuk penjualan handphone-nya. Ia pun menganggap saat itu posisinya berada di kapal yang tepat pada saat yang tepat.
Ia pun tak menyangkal ada sebagian keberuntungan yang menimpanya. Namun, jika sepenuhnya dikatakan beruntung, dirinya menolak, karena keberuntungan tanpa usaha dan tekad yang keras akan sia-sia.
Budi mengenang, dalam perjalanannya, tentu perseroan memiliki masa-masa sulit dan banyak kendala yang dihadapi. Namun, ada dua yang paling besar yang terus dirinya ingat.
Pertama, ketika terjadi krisis pada 1998. Budi menyadari, kalau itu bukan hanya dirinya, namun seluruh masyarakat Indonesia mengalami masa sulit itu.
Kedua, pada 2009. Tahun itu, amat diingatnya karena itulah awal mula smartphone BlackBerry mulai booming di Indonesia.
Setahun kemudian, efek populernya amat dirasakan perusahaan yang kala itu hanya menjual satu merek, yaitu Nokia. "Saat itu, penjualan Nokia amat turun dan perusahaan mengalami gejolak hebat," kenangnya.
Satu hal yang membuatnya bertahan, menurut Budi, adalah kepercayaan yang terus diberikan para pegawainya kepada perusahaan. Meski perusahaan sedang menghadapi krisis besar, karyawan serta manajemen tetap mendukung dan setia kepada dirinya.
Hal ini yang membuatnya terus berusaha mempertahankan perusahaan. "Mereka percaya pada perusahaan dan kami juga harus membuat mereka bangga, karena itu kami juga maju terus " ungkapnya.
Pada Jumat lalu, saham Erajaya Swasembada sudah mencapai Rp2.875. Padahal, ketika awal dilepas, harga saham hanya Rp1.000.
Perseroan pun saat ini sudah memiliki lebih dari 390 outlet resmi, termasuk di dalamnya iBox yang merupakan authorized dealer dari produk-produk Apple dengan jumlah karyawan lebih dari empat ribu orang.
Dari 90 sentra distribusi yang dipunyai perseroan, kini telah memasok kebutuhan lebih dari 19 ribu reseller di seluruh Indonesia. Sementara itu, pendapatan perusahaan tahun ini dari penjualan diperkirakan menembus Rp12, 8 triliun
Sumber
0 Response to "Dari Kios Kecil, Bisnis Handphone Pria Ini Triliunan Rupiah"
Post a Comment