Jugia Boru Marpaung - Sukses dengan Batik Pekalongan
02 December 2012
1 Comment
Jugia Boru Marpaung. Mendengar nama itu mungkin tak terpikirkan jika wanita ini pengusaha batik Pekalongan. Bukan Anda saja yang terkejut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun heran ketika mengetahui pebisnis batik Jawa ini keturunan Batak. Ini adalah pengalaman yang sangat menarik bagi Jugia ketika booth-nya dikunjungi Presiden dalam satu pameran di JCC, pertengahan tahun lalu. “Waktu itu Presiden menanyakan neng ndi Jawane?” ujar Jugia menirukan SBY.
Jugia menjawab kalau dia bukan Jawa. Pada saat itulah Presiden menyampaikan rasa salutnya kepada Jugia yang merupakan orang Sumatera Utara. “Ini bagus buat memotivasi orang Jawa, orang Batak saja bisa melestarikan budaya Jawa, masa orang Jawa tidak bisa,” katanya lagi, menirukan SBY.
Perempuan kelahiran Medan 28 Juni 1963 ini memulai bisnis batik tulis Pekalongan sekitar 5 tahun lalu. Saat itu untuk memulai bisnisnya Jugia harus rela mengeluarkan modal setiap minggu Rp 16 juta untuk keperluan produksi. “Waktu pertama kita ga bisa langsung jual, jadi kita kumpulkan dulu sampai ada 200 pieces,” ujarnya.
Pada awalnya perusahaannya yang diberikan nama Art@ Batik ini hanya membuat batik tulis saja, namun seiring berjalannya waktu ia ikut memproduksi batik cetak. Ide untuk berbisnis batik ini datang dari ibunya yang selalu memakai batik ke mana pun pergi. Saat ia masih muda pun, ibu Jugia selalu menyarankan anaknya memakai batik. Dari situ lah ia berpikir untuk mengembangkan usaha batik ini.
“Kalau saya berjualan batik, sampai saya tidak ada pun usaha ini akan terus berjalan karena akan ada yang memakainya,” ujar Jugia. Modal usahanya ini diperoleh dari suaminya yang bekerja sebagai kontraktor. “Dalam dua tahun pertama merintis usaha, mungkin saya sudah habis sampai Rp 2 miliar,” ujarnya.
Jugia sempat hampir patah arang atas usahanya ini. Ia terus menerus melakukan pendekatan pasar dengan mengikuti berbagai macam pameran, walau nasib baik belum berpihak padanya. “Mungkin ada tiga kali pameran batik saya tidak ada yang membeli,” ujar dia. Nasib pabrik batik Jugia mulai berubah kekita ia bertemu dengan Yultin Ginanjar Kertasasmita dari Yayasan Batik Indonesia. Ibu Ginanjar inilah yang menawarkan masuk dalam asosiasi. Dari situlah ia terbantu, khususnya dalam hal pemasaran.
Karena masuk asosiasi, sekarang, produknya selalu ditaruh di daerah paling depan, sehingga orang yang lewat lebih banyak dan potensi pembelinya lebih besar. Tak cuma masuk Asosiasi dan mengikuti pameran-pameran, Jugia juga terus mencari jaringan pemasaran sendiri, salah satunya dengan Sogo. Kerjasama ini menggunakan sistem berbagi keuntungan.
Sogo lah yang membantu penjualannya di saat sulit. “Saat ini pendapatan bersih saya dari Sogo sudah mencapai Rp 30 juta per bulan,” katanya. Jugia sedang mencari celah memperluas pasar ke luar negeri. “saya sedang meminta bantuan dari Kementrian Perdagangan,” ujarnya. Jugia mengakui belum mempunyai pasar di luar negeri. Sesekali ia di luar negeri hanya mengikuti pameran.
Di pabrik batik Pekalongan, ia memperkerjakan 62 karyawan. Jumlah ini menurun dari jumlah karyawan awalnya yang mencapai 82 orang. Ini wajar karena efisiensi setelah ia mulai menjual batik cetak. Saat ini kisaran harga kain batik tulis produknya relatif mahal, Rp 3 juta ke atas. Ini bergantung pada desain dan kesulitannya. Untuk batik cetak atau pakaian batik cetak dijual bervariasi dari Rp 700 ribu hingga jutaan rupiah.
Sumber : http://bisnis.news.viva.co.id
Jugia menjawab kalau dia bukan Jawa. Pada saat itulah Presiden menyampaikan rasa salutnya kepada Jugia yang merupakan orang Sumatera Utara. “Ini bagus buat memotivasi orang Jawa, orang Batak saja bisa melestarikan budaya Jawa, masa orang Jawa tidak bisa,” katanya lagi, menirukan SBY.
Perempuan kelahiran Medan 28 Juni 1963 ini memulai bisnis batik tulis Pekalongan sekitar 5 tahun lalu. Saat itu untuk memulai bisnisnya Jugia harus rela mengeluarkan modal setiap minggu Rp 16 juta untuk keperluan produksi. “Waktu pertama kita ga bisa langsung jual, jadi kita kumpulkan dulu sampai ada 200 pieces,” ujarnya.
Pada awalnya perusahaannya yang diberikan nama Art@ Batik ini hanya membuat batik tulis saja, namun seiring berjalannya waktu ia ikut memproduksi batik cetak. Ide untuk berbisnis batik ini datang dari ibunya yang selalu memakai batik ke mana pun pergi. Saat ia masih muda pun, ibu Jugia selalu menyarankan anaknya memakai batik. Dari situ lah ia berpikir untuk mengembangkan usaha batik ini.
“Kalau saya berjualan batik, sampai saya tidak ada pun usaha ini akan terus berjalan karena akan ada yang memakainya,” ujar Jugia. Modal usahanya ini diperoleh dari suaminya yang bekerja sebagai kontraktor. “Dalam dua tahun pertama merintis usaha, mungkin saya sudah habis sampai Rp 2 miliar,” ujarnya.
Jugia sempat hampir patah arang atas usahanya ini. Ia terus menerus melakukan pendekatan pasar dengan mengikuti berbagai macam pameran, walau nasib baik belum berpihak padanya. “Mungkin ada tiga kali pameran batik saya tidak ada yang membeli,” ujar dia. Nasib pabrik batik Jugia mulai berubah kekita ia bertemu dengan Yultin Ginanjar Kertasasmita dari Yayasan Batik Indonesia. Ibu Ginanjar inilah yang menawarkan masuk dalam asosiasi. Dari situlah ia terbantu, khususnya dalam hal pemasaran.
Karena masuk asosiasi, sekarang, produknya selalu ditaruh di daerah paling depan, sehingga orang yang lewat lebih banyak dan potensi pembelinya lebih besar. Tak cuma masuk Asosiasi dan mengikuti pameran-pameran, Jugia juga terus mencari jaringan pemasaran sendiri, salah satunya dengan Sogo. Kerjasama ini menggunakan sistem berbagi keuntungan.
Sogo lah yang membantu penjualannya di saat sulit. “Saat ini pendapatan bersih saya dari Sogo sudah mencapai Rp 30 juta per bulan,” katanya. Jugia sedang mencari celah memperluas pasar ke luar negeri. “saya sedang meminta bantuan dari Kementrian Perdagangan,” ujarnya. Jugia mengakui belum mempunyai pasar di luar negeri. Sesekali ia di luar negeri hanya mengikuti pameran.
Di pabrik batik Pekalongan, ia memperkerjakan 62 karyawan. Jumlah ini menurun dari jumlah karyawan awalnya yang mencapai 82 orang. Ini wajar karena efisiensi setelah ia mulai menjual batik cetak. Saat ini kisaran harga kain batik tulis produknya relatif mahal, Rp 3 juta ke atas. Ini bergantung pada desain dan kesulitannya. Untuk batik cetak atau pakaian batik cetak dijual bervariasi dari Rp 700 ribu hingga jutaan rupiah.
Sumber : http://bisnis.news.viva.co.id
terimakasih telah berbagi cerita yang menginspirasi,,
ReplyDeleteAplikasi Toko Android